Gestapu
(Gerakan September Tiga Puluh) 1965 adalah peristiwa besar yang mengubah
sejarah Indonesia. Meski telah lewat setengah abad, Gestapu masih diselimuti
kabut misteri dan pertanyaan. Buku ini memiliki keunikan tersendiri
dibandingkan literatur sejenis, karena penulisnya menyaksikan langsung situasi
di seputar Gestapu. Selain itu, sebagai akademisi, dia menguasai alat analisis
dan kesempatan mempelajari dokumen dan literatur langka.
Dalam buku
ini, penulis menjawab bermacam kontroversi secara berimbang serta berusaha
menjawab pertanyaan terpenting: Siapa dalang sebenarnya dari Gestapu: Sukarno,
Soeharto, atau Aidit?
"Bung
Salim, menuliskan kesaksiannya tentang peristiwa sejarah yang super-misterius
ini, dengan gaya amat menarik dan memukau tentang 3 tokoh sentral di sekitar
Peristiwa G-30-S. Kesan saya dari membaca buku ini: Lebih baik menyalahkan
seorang Aidit daripada PKI sebagai keseluruhan Partai."
-Asahan Alham
Aidit, seorang eksil Indonesia yang menetap di Amsterdam
"Meski
setengah abad telah lewat, misteri siapa yang membunuh enam jenderal Angkatan
Darat pada 1 Oktober 1965 belum terungkap seluruhnya. Buku ini menawarkan
analisis paling meyakinkan yang pernah saya baca. Berkat pengalaman pribadi
selaku wartawan pada masa itu serta ilmuwan politik yang mengikuti dari dekat
peran politik militer selama puluhan tahun, penulis menjelaskan dengan jitu dan
cermat peran yang kemungkinan besar dimainkan para aktor penting, terutama
Sukarno, Aidit, Syam, Latif, dan Soeharto."
-R. William
Liddle, Profesor Emeritus Ilmu Politik, Ohio State University
"Dalam
kaitan memperingati 50 tahun kegagalan Gestapu, saya mengusulkan agar Prof. Dr.
Salim Said memperdalam, memperluas,
dan memerinci
satu bagian dari bukunya yang terdahulu. Buku inilah hasilnya. Salim Said
adalah salah satu saksi sejarah yang perlu menuliskan apa yang dialaminya. Rasa
ingin tahunya yang kuat, ketajaman analisisnya, posisinya dan sudut pandang
yang tepat, menjamin buku ini amat layak dibaca."
-Salahuddin
Wahid, Pengasuh Pesantren Tebuireng
Pernah terbit
sebagai bagian dari buku Dari Gestapu ke Reformasi.
[Mizan,
Publishing, Gestapu, PKI, G30SPKI, Negara, Sejarah, Negara, Tragedi, Indonesia]
ABOUT THE
AUTHOR
Lahir sebagai
anak tertua Haji Said dan Hajjah Salmah pada 10 November 1943, di Desa
Amparita, Kabupaten Parepare, Sulawesi Selatan. Salim menjalani pendidikan
dasarnya di Kota Parepare sebelum akhirnya menyelesaikan sekolah Menengah atas
(SMA) di Solo, Jawa Tengah. Selama lima tahun (1963-1968), dia belajar
psikologi pada Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI). Salim beralih
mempelajari ilmu sosial pada Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI
karena tidak lagi diizinkan bertahan di sekolah lamanya akibat tingkat absennya
yang tinggi imbas kesibukannya sebagai demonstran dan wartawan. dari FISIP UI,
Salim Haji Said mendapat gelar sarjana (Drs.) dalam Ilmu sosiologi pada 1976.
Pendidikan tingginya di Jakarta tersendat-sendat dan berlangsung lama karena
kegiatannya sebagai aktivis mahasiswa dan kesibukannya sebagai wartawan.
Pada 1979,
Salim Haji Said memulai pendidikan pascasarjana di Ohio University, Athens,
Ohio Amerika Serikat. Mendapat gelar Master of Arts in International Affairs
(MAIA) pada 1980, dia kemudian diterima pada program Doktor di Ohio State
University (OSU) dan belajar ilmu politik di bawah bimbingan Prof. Dr. Raymond
William Liddle (Bill). Salim Haji Said mendapat gelar Master (M.A.) kedua pada
1983, dan pada Desember 1985, dia memperoleh gelar Ph.d. dalam ilmu politik
dengan disertasi mengenai peran politik militer Indonesia pada periode Revolusi
Kemerdekaan.
Ketika
menyelesaikan pendidikannya pada Jurusan sosiologi FISIP UI, Salim Haji Said
menulis tesis mengenai sejarah sosial film Indonesia. Tidak terlalu sulit
baginya menulis tesis tersebut karena selama bertahun-tahun dia juga bersibuk
sebagai kritikus film majalah Tempo. Tesis itu merupakan usaha penulis
menemukan jawaban atas keluhan terhadap rendahnya mutu film Indonesia. dari
penelitiannya, Salim Haji Said berkesimpulan bahwa film Indonesia yang
mendominasi pasar adalah memang buatan para pemilik modal yang memperlakukan
film semata sebagai komoditas dagang. Karena kalkulasi pembuatan tontonan
tersebut hanya didasarkan pada hitungan Untung rugi materiel, tentu saja
mutunya hampir mutlak ditentukan oleh pasar dan para pemilik modal yang memang
tidak terlatih memperhitungkan aspek artistik. Tesis Salim Haji Said terbit
sebagai buku dalam bahasa Indonesia dan Inggris (terjemahan).
Menurut
pengakuannya sendiri, Salim hijrah ke Pulau Jawa pada usia 16 tahun dengan
ambisi menjadi seniman. Semasa remaja di Parepare, salim mulai menulis cerita
pendek dan puisi. di Pulau Jawa kemudian dia juga menulis sejumlah telaah
karyakarya sastra. Salim yang tertarik seni peran (acting) pernah belajar
teater, menyutradarai pertunjukan drama, dan ikut tampil sebagai aktor. Di
kemudian hari, dia belajar dunia perfilman, menyutradarai dan beberapa kali
tampil di depan kamera.
Namun, dia
secara berangsur menyadari bakat seninya ternyata tidak sepotensial daya
kritisnya. Maka, dia pun beralih menjadi ilmuwan dan memusatkan perhatian pada
studi ilmu sosial dan politik. Sebagai ilmuwan sosial politik, Salim Haji Said
telah menerbitkan sekitar 10 buku—dalam bahasa Indonesia dan Inggris—yang pada
umumnya membicarakan peranan politik militer Indonesia. Beberapa buku mengenai
film dan perfilman juga dihasilkannya. Kendati tidak lagi berambisi menjadi
seniman, Salim Haji Said tetap saja diangkat menjadi anggota dewan Kesenian
Jakarta, bahkan menjadi ketua lembaga kesenian itu selama hampir 10 tahun.
Dalam riwayat
hidupnya, Salim Haji Said tercatat sebagai wartawan selama 25 tahun. dari
kedudukan sebagai wartawan dan foreign travelling correspondent majalah Tempo
itulah, salim yang juga salah seorang pendiri majalah mingguan tersebut,
berkesempatan berkeliling ke berbagai penjuru dunia dan menulis laporan dan
analisis menarik mengenai negara-negara yang dikunjunginya. Salim Haji Said
bangga berkesempatan meliput hari-hari terakhir Kamboja sebelum jatuh ke tangan
Khmer Merah yang menciptakan killing field, dan bulan-bulan terakhir sebelum
Amerika Serikat dan rezim kanan di Vietnam Selatan secara sempurna ditendang
keluar dari kawasan Indochina. dengan usaha sendiri, Salim Haji Said juga
meliput pelaksanaan kesepakatan Camp David yang dicapai bersama Menachim Begin
(Israel) dan Anwar Sadat (Mesir). untuk peliputan ini, Salim Haji Said harus
terbang ke Kairo dengan biaya pribadi. Menyeberangi Terusan Suez dan melewati
Kota Ismailia, dia melanjutkan perjalanan menuju Jerusalem melalui Gurun Sinai
dan tanah Genting Gaza.
Selama
sembilan bulan pada awal masa reformasi, Salim Haji Said ditunjuk mewakili kaum
cendekiawan pada Badan Pekerja-MPR (BP-MPR). Pada 2006, Guru Besar Ilmu Politik
ini dipercayai oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi duta Besar
Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (Dubes LBBP) untuk republik Ceko yang
berkedudukan di Praha.
Pada
tahun-tahun terakhir ini, sebagai Guru Besar Ilmu Politik, Salim Haji Said
sibuk mengajar di Universitas Muhammadiyah Malang, Universitas Pertahanan
Indonesia, Sekolah Staf dan Komando Angkatan Laut (Seskoal), sekolah staf dan
Komando TNI (Sesko TNI), dan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). dia juga
sibuk melakukan penelitian bagi buku yang sedang dipersiapkannya. “Saya
terobsesi menyelesaikan penelitian dan menulis buku mengenai dinamika hubungan
Presiden Sukarno dan militer dari masa Revolusi hingga naiknya Soeharto,”
katanya.[]
Posting Komentar