Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto


"Ambassador Salim Haji Said's new book, Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto, recounts Professor Salim Said's interactions with Soeharto's power-brokers-including Red Beret Commander Sarwo Edhie Wibowo, Generals Kemal Idris, Muhammad Jusuf, Sayidiman, Soemitro, Benny Moerdani, Admiral Sudomo and many others-in the process offering fascinating new insights into the behind-the-scenes workings of the New Order regime."
-Kolonel (Purn.) US Army Joseph Daves, Mantan Atase Pertahanan Amerika Serikat di Jakarta pada awal Reformasi



"Buku sejarah militer kontemporer, disusun dari hasil interaksi dengan lebih dari 80-an jenderal yang mewarnai politik negara selama 30 tahun Pemerintahan Presiden Soeharto ... autentik dan perlu dibaca siapa saja yang ingin mendalami karakter militer (ABRI) dalam kehidupan bernegara di Indonesia."
-Letjen TNI (Purn.) J. Suryo Prabowo, Kasum TNI 2011-2012



"Buku ini merupakan sejarah dan analisis terbaik mengenai Orde Baru. Selain saksi hidup, penulis adalah seorang sejarahwan yang tidak berpihak dan selalu melihat manusia dalam segala kerumitannya. Siapa pun yang menulis di kemudian hari tentang periode ini harus memakai buku ini karena substansinya dan juga karena analisisnya."
-Prof. Dr. R. William Liddle, Guru Besar Emeritus OHIO State University, Columbus, Ohio, Amerika Serikat



"Rangkaian artikel yang menarik dan bernilai sejarah yang langsung dialami penulisnya. Tulisan seperti ini hanya bisa dihasilkan oleh kombinasi naluri matang seorang jurnalis senior dan persepsi stereoskopik sarjana ilmu politik, yang jika bukan karena Reformasi mungkin masih berupa cerita off-the-record belaka."
-Dr. Marsillam Simandjuntak, S.H., salah seorang pendiri Forum Demokrasi yang kemudian menduduki beberapa jabatan tinggi pada Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid



"Wartawan tahu sedikit tentang banyak hal, sedangkan ilmuwan tahu banyak tentang hal yang sedikit. Tetapi, bagaimana kalau ilmuwan adalah juga wartawan? Maka, karya yang dihasilkannya memancarkan keluasan pengetahuan yang didampingi kedalaman pemahaman. Inilah yang terpancar dari karya Salim Haji Said, sang wartawan yang telah menjadi ilmuwan, dalam karya akademis tentang suatu episode kritis dalam sejarah bangsa."
-Prof. Dr. Taufik Abdullah, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia



"Pengalaman penulis sebagai jurnalis yang berada dalam pusaran berbagai peristiwa nasional serta ketekunannya menyimpan catatan pengalaman dan serius memutakhirkannya menjadi kekuatan terbesar. Buku ini memberi artikulasi bagi mereka yang ingin menggali lebih dalam pemahamannya terhadap sejarah bangsa."
-Letjen TNI (Purn.) Agus Widjojo, Purnawirawan TNI

[Mizan, Mizan Publishing, Sejarah, Presiden Soeharto, Indonesia]

ABOUT THE AUTHOR

Lahir sebagai anak tertua Haji Said dan Hajjah Ayu Salmah pada 10 November 1943, di Desa Amparita (Kabupaten Parepare, sekarang masuk wilayah Kabupaten Sidrap), Sulawesi Selatan. Salim menjalani pendidikan dasarnya di Kota Parepare sebelum akhirnya menyelesaikan Sekolah Menengah Atas (SMA) di Solo, Jawa Tengah.
Selama lima tahun (1963-1968), dia belajar psikologi pada Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI). Salim kemudian beralih mempelajari ilmu sosial pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP UI) setelah tidak lagi diizinkan bertahan di sekolah lamanya karena tingkat absennya yang tinggi oleh kesibukannya sebagai aktivis. Dari FISIP UI, Salim Haji Said mendapat gelar sarjana (Drs.) dalam Ilmu Sosiologi pada 1976. Pendidikan tingginya di Jakarta tersendat-sendat dan berlangsung lama karena kegiatannya sebagai aktivis mahasiswa dan kesibukannya sebagai wartawan.
Pada 1979, Salim Haji Said memulai pendidikan pascasarjana di Ohio University, Athens, Ohio Amerika Serikat. Mendapat gelar Master of Arts in International Affairs (MAIA) pada 1980, dia kemudian diterima pada program doktor di Ohio State University (OSU) dan belajar ilmu politik di bawah bimbingan Prof. Dr. Raymond William Liddle (Bill). Salim Haji Said mendapat gelar Master (M.A.) kedua pada 1983. Kemudian pada Desember 1985, Salim Haji Said memperoleh gelar Ph.D. dalam ilmu politik dengan disertasi mengenai peran politik militer Indonesia pada periode Revolusi Kemerdekaan.
Ketika menyelesaikan pendidikannya pada Jurusan Sosiologi FISIP UI, Salim menulis tesis mengenai sejarah sosial film Indonesia. Tidak terlalu sulit baginya menulis tesis tersebut karena selama bertahun-tahun dia juga bersibuk sebagai kritikus film majalah Tempo. Tesis itu adalah usaha penulis menemukan jawaban atas keluhan terhadap rendahnya mutu film Indonesia. Tesis Salim Haji Said tersebut terbit sebagai buku dalam bahasa Indonesia dan Inggris (terjemahan).
Dalam riwayat hidupnya, Salim Haji Said tercatat sebagai wartawan selama 25 tahun. Dari kedudukan sebagai wartawan dan foreign travelling correspondent majalah Tempo, Salim—juga salah seorang pendiri majalah mingguan itu—berkesempatan berkeliling ke berbagai penjuru dunia dan menulis laporan dan analisis mengenai peristiwa yang terjadi di negara-negara yang dikunjunginya. Salim bangga berkesempatan meliput hari-hari terakhir Kamboja sebelum jatuh ke tangan Khmer Merah yang menciptakan killing field, dan bulan-bulan terakhir sebelum Amerika Serikat dan rezim kanan di Vietnam Selatan secara sempurna terusir dari kawasan Indochina. Salim juga meliput pelaksanaan kesepakatan Camp David yang dicapai bersama Menachim Begin (Israel) dan Anwar Sadat (Mesir). Untuk itu, dengan biaya sendiri dia terbang ke Kairo dan lewat darat (menyeberangi Gurun Sinai) melanjutkan perjalanan ke Israel pada musim panas 1978.
Selama sembilan bulan pada awal masa Reformasi, Salim Haji Said ditunjuk mewakili kaum cendekiawan pada Badan Pekerja MPR (BP-MPR). Pada 2006, Guru Besar Ilmu Politik ini dipercayai Presiden SBY menjadi Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (Dubes LBBP) untuk Republik Ceko yang berkedudukan di Praha.
Pada tahun-tahun terakhir ini, sebagai Guru Besar Ilmu Politik, Salim Haji Said sibuk mengajar pada Universitas Pertahanan Indonesia (Unhan), Sekolah Staf dan Komando Angkatan Laut (Seskoal), Sesko Angkatan Darat (Seskoad), Angkatan Udara (Seskoau), Sekolah Staf dan Komando TNI (Sesko TNI), dan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Dia juga sibuk melakukan penelitian bagi buku yang sedang dipersiapkannya. “Saya terobsesi menyelesaikan penelitian dan menulis buku mengenai dinamika hubungan Presiden Sukarno dan militer dari masa Revolusi hingga naiknya Soeharto,” katanya.[]



Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto










Posting Komentar

 
Top